Buliran.com - Jepara,
Setelah viral unggahan tentang trotoar Jepara yang berubah menjadi tempat nongkrong, ada beberapa komentar netizen yang menarik untuk disampaikan ke publik.
Tempat nongkrong yang disediakan pengusaha cafe trotoar di sepanjang Jalan Pemuda Jepara, adalah pola yang menjadi pilihan pengusaha cafe karena aksesibilitas yang tinggi dan berpotensi mendatangkan banyak konsumen, Sabtu (17/5/2025).
Choirur Rofiq, salah satu warga Jepara menanggapi hal tersebut, "Tempat tersebut adalah ruang publik, ruang terbuka publik sebagai ruang milik bersama, tempat masyarakat melakukan aktivitas fungsional dan ritualnya dalam suatu ikatan komunitas, wadah aktivitas sosial yang melayani dan juga mempengaruhi kehidupan masyarakat kota, dalam rutinitas normal kehidupan sehari-hari maupun dalam kegiatan periodik, tujuan mereka meningkatkan perekonomian," ujar Choirur.
Hal yang sama disampaikan Soleh, dikatakan, "Ruang publik harus terbuka bagi siapa saja warga kota yang ingin berekspresi, apakah berkaitan dengan konten sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan dan karena PKL maupun pengusaha cafe tidak mungkin dihilangkan dari kegiatan di ruang publik kerena keberadaannya merupakan pelengkap dari segala unsur kehidupan publik, memang dilematis, maka Bupati Jepara dan stakeholder terkait harus bisa memberikan solusi," kata Soleh.
Terpisah, Djoko TP, aktivis pemerhati kebijakan pemerintah menyampaikan analisisnya.
ANALISIS KEBIJAKAN DISKRESI PEMANFAATAN TROTOAR UNTUK USAHA DI KABUPATEN JEPARA
Fenomena menjamurnya usaha café, food truck, dan tempat nongkrong di atas trotoar, khususnya di kawasan Jalan Pemuda Kabupaten Jepara, telah menimbulkan polemik. Di satu sisi, kondisi ini memperlihatkan geliat ekonomi lokal, terutama sektor UMKM. Namun di sisi lain, praktik tersebut berpotensi melanggar hukum karena trotoar merupakan fasilitas publik yang diperuntukkan bagi pejalan kaki, termasuk penyandang disabilitas.
Situasi ini mengindikasikan adanya bentuk diskresi administratif oleh Pemerintah Daerah, yang perlu dikaji secara hukum dan kebijakan agar tidak menciptakan ketidakpastian hukum dan konflik tata kota di kemudian hari.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 1 angka 9: Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk mengatasi stagnasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 24: Diskresi harus dilakukan secara hati-hati, untuk kepentingan umum, dan tidak menyalahgunakan wewenang.
2. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 131 ayat (1): Penyandang disabilitas berhak atas fasilitas pejalan kaki yang aman dan mudah diakses.
3. Perda Kabupaten Jepara Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL
Mengatur bahwa PKL hanya boleh beroperasi di tempat yang telah ditentukan dan wajib memiliki TDU.
4. Perda Kabupaten Jepara Nomor 20 Tahun 2012 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3)
Larangan menggunakan trotoar atau fasilitas umum untuk berdagang atau beraktivitas lain yang melanggar fungsi utama fasilitas tersebut.
5. Keputusan Bupati Jepara Nomor 511-3/372 Tahun 2017
Menetapkan 14 lokasi resmi untuk PKL, yang tidak termasuk trotoar Jalan Pemuda sebagai tempat usaha.
Permasalahan
Praktik penggunaan trotoar sebagai tempat usaha di Kota Jepara saat ini melibatkan:
- Pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang mengatur fungsi trotoar.
- Ketidaktegasan dalam penegakan hukum oleh aparat daerah.
- Ketiadaan dasar legal diskresi yang dapat dipertanggungjawabkan secara administratif dan hukum.
Analisis Diskresi
Jika praktik ini dianggap sebagai bentuk diskresi administratif, maka seharusnya:
- Dilandasi tujuan kepentingan umum, seperti mendukung UMKM atau ekonomi malam hari.
- Didukung kajian tata ruang, AMDAL Lalin, dan pengukuran risiko sosial dan hukum.
- Dibatasi secara waktu, lokasi, dan jenis kegiatan.
Namun realitanya
- Tidak ada pengaturan tertulis atau keputusan resmi kepala daerah yang mengatur pengecualian ini.
- Trotoar kehilangan fungsi sosial dan hukum sebagai ruang aman bagi pejalan kaki.
- Menimbulkan preseden pembiaran hukum, yang berisiko bagi legitimasi pemerintahan daerah.
Dampak Negatif
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya trotoar yang digunakan untuk para umkm dapat menimbulkan dampak antara lain :
- Pelanggaran terhadap hak konstitusional pengguna trotoar, termasuk penyandang disabilitas.
- Ketidakteraturan kota dan degradasi estetika kawasan.
- Potensi konflik antara pemilik rumah , pelaku usaha dan masyarakat pengguna jalan.
- Timbulnya ketidakpastian hukum dalam pemanfaatan ruang publik.
- Risiko tuntutan hukum terhadap Pemda karena pembiaran terhadap pelanggaran.
Rekomendasi Kebijakan
Jangka Pendek
- Moratorium penggunaan trotoar untuk usaha baru.
- Inventarisasi titik pelanggaran dan pelaku usaha yang menempati trotoar.
- Dialog dan sosialisasi publik mengenai fungsi ruang publik dan batas diskresi.
Jangka Menengah
Penerbitan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) atau SK Bupati tentang pemanfaatan terbatas trotoar:
- Menyebutkan syarat izin, waktu operasional, jenis usaha yang diperbolehkan.
- Berdasarkan kajian lalu lintas dan desain kota inklusif.
Zonasi Trotoar:
- Zona Hijau: Tidak boleh ada aktivitas usaha.
- Zona Kuning: Aktivitas usaha terbatas dengan izin khusus.
- Zona Merah: Dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tertentu berbasis waktu.
Revitalisasi trotoar:
Penataan ulang agar ramah pejalan kaki dan tetap memberi ruang terbatas bagi UMKM.
Sistem Perizinan Khusus:
- Berbasis waktu (misal pukul 18.00–22.00).
- Evaluasi berkala terhadap kepatuhan.
Jangka Panjang
Revisi Perda tentang Penataan PKL dan Ketertiban Umum, agar mencakup adaptasi ruang publik yang berbasis realitas sosial dan ekonomi.
Kampanye Edukasi Tata Kota melalui media lokal, sekolah, dan komunitas untuk membangun budaya tertib ruang publik.
Djoko menjelaskan, "Diskresi adalah kewenangan konstitusional pemerintah dalam keadaan tertentu, namun tidak dapat dijadikan dasar pembiaran pelanggaran hukum. Pemda Jepara harus menegaskan batas dan syarat diskresi secara tertulis, agar penggunaan trotoar untuk usaha tidak mencederai hak publik dan tetap menjaga tata ruang kota yang tertib, inklusif, dan berkelanjutan," pungkasnya.
(Arif M)
Editor : Redaktur Buliran