Akan Muncul Pelaporan Kasus Pokir DPRD Bermasalah dan Potongan Dana Infrastruktur di Jepara

Ilustrasi dana pokok pikiran dewan.
Ilustrasi dana pokok pikiran dewan.

Buliran.com - Jepara,

Dugaan praktik “jual-beli” proyek Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Jepara mulai mencuat ke permukaan. Sejumlah laporan menyebutkan adanya pemotongan dana hingga 15% dari anggaran proyek yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta tumpang tindih dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).

Kasus ini diduga melibatkan sejumlah oknum pimpinan dan anggota DPRD Jepara, Rabu (2/7/2025).

DPK ASKAINDO Jepara, melalui Anggi Wicaksono, menyampaikan keprihatinan mendalam terkait kualitas pelaksanaan proyek Pokir yang dinilai buruk, ditempatkan di luar daerah pemilihan (dapil), dan disinyalir telah dipotong oleh oknum anggota dewan.

Menurutnya, hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan mencederai semangat pelayanan publik.

“Ormas memiliki hak dan kewajiban melakukan fungsi kontrol sosial untuk mengawasi kebijakan pemerintah agar tidak terjadi penyimpangan,” ujar Anggi, Selasa (1/7/2025), merujuk pada UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 terkait Ormas.

Masalah pokir ini dinilai sistemik, karena bukan hanya melibatkan satu atau dua oknum, tetapi juga menunjukkan adanya pola korupsi yang terstruktur.

Salah satu modus umum adalah potongan fee 10-15% dari dana proyek, hingga kualitas pekerjaan rendah, serta penggelembungan anggaran. Bahkan, pengajuan proposal seringkali tidak sesuai kebutuhan masyarakat, dan dipaksakan masuk ke dalam sistem meski tidak selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Khusus proyek infrastruktur, disampaikan ke media ini, laporan dari lapangan menyebutkan bahwa proses penyaringan usulan yang semestinya dilakukan saat masa reses di dapil justru dijalankan secara tertutup dan melibatkan struktur partai serta konstituen yang dekat dengan oknum dewan.

"Hal ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diamanatkan dalam Pasal 78 Permendagri 86 Tahun 2017," ujar Anggi Wicaksono.

Ia menambahkan, "Penggunaan istilah 'pork barrel' atau 'gentong babi' menjadi relevan untuk menggambarkan situasi ini ketika proyek daerah dimanfaatkan untuk kepentingan politis sempit, bukan untuk kepentingan publik secara luas. Pokir yang seharusnya menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan anggaran, justru menjadi ladang transaksional dan ajang distribusi proyek untuk mendulang dukungan," imbuhnya.

Sebagai bentuk respons, DPK ASKAINDO Jepara mendorong keterlibatan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan penindakan lebih intensif terhadap pelaksanaan Pokir DPRD Jepara.

DPK juga menyerukan adanya sistem verifikasi berlapis terhadap usulan proyek agar dapat menyaring proposal fiktif dan memastikan bahwa pengadaan barang/jasa betul-betul bermanfaat bagi masyarakat.

Masyarakat Jepara pun diajak aktif mengawal transparansi pengelolaan anggaran publik dan mendesak audit terbuka terhadap pelaksanaan proyek-proyek Pokir.

Praktik pemotongan dana Pokir DPRD Jepara dengan besaran 10% hingga 15%, menurut Anggi, melalui beragam modus seperti fee hingga penempatan proyek yang tidak sesuai dapil, merupakan gejala dari korupsi sistemik dalam tubuh lembaga legislatif daerah. Diperlukan reformasi menyeluruh terhadap mekanisme pengajuan dan pelaksanaan Pokir, serta penindakan tegas terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan amanat rakyat.

"Pokir harus kembali kepada esensi awalnya: menyuarakan kebutuhan rakyat secara adil dan transparan dalam kerangka pembangunan daerah yang berkelanjutan," pungkasnya. ***

(Arif M)

Editor : Redaktur Buliran