Konflik Petinggi Bandengan Vs Masyarakat Kampung Perahu Bandengan Jepara, Berikut Penyebabnya

Peninjauan Lokasi / verifikasi lapangan menentukan batas tanah milik pemprov jawa tengah untuk mencari titik koordinat di Kampung Perahu Bandengan Jepara.
Peninjauan Lokasi / verifikasi lapangan menentukan batas tanah milik pemprov jawa tengah untuk mencari titik koordinat di Kampung Perahu Bandengan Jepara.

Buliran.com - Jepara,

Pernah viral di berbagai platform media sosial terkait Pengelolaan Wisata Kampung Perahu Bandengan dan bahkan sempat reda seolah hilang tidak ada kelanjutannya, namun usai peninjauan setempat Lambiran Pantai seluas 1000 m2 oleh Forkopimcam Jepara Kota, Petinggi Bandengan bersama staf, beserta Satpol PP di Tempat Wisata Kampung Perahu pada Selasa (29/7/2025), akhirnya muncul kembali konflik baru antara warga pengelola Wisata Kampung Perahu dengan Petinggi Bandengan.

Sebelumnya, pada Senin (21/7/2025), salah satu Pengelola Hotel dan Resto di Bandengan diminta hadir di Ruang Sekretaris Daerah (Setda) Jepara, untuk dimintai keterangan terkait permasalahan Surat Lambiran Pantai yang diterbitkan era Petinggi Bandengan Siswanto, pada tahun 2010.

Benarkah permasalahan Kampung Perahu belum usai? dan benarkah ada benturan kepentingan antara tugas profesional para pejabat publik demi meraup keuntungan pribadi sehingga dapat mengarah pada keputusan yang tidak etis dan merugikan masyarakat?Berikut informasi dan rangkaian peristperistiwa yang diduga menjadi sebab dan berhasil dihimpun awak media ini, Rabu (6/8/2025).

Salah satu pengelola Resto dan Hotel di Bandengan yang pada waktu itu hadir audiensi di kantor Setda saat dikonfirmasi media ini membenarkan, bahwa kemungkinan akan ada konflik baru, yang dipermasalahkan itu adalah Surat Lambiran Pantai era Petinggi Bandengan Siswanto di tahun 2010.

"Ya, dasar pengelolaan lambiran pantai era petinggi Siswanto, yang saya tahu hal itu dasarnya sudah benar, tanah tersebut waktu itu terlantar, kemudian dikelola dan digunakan untuk umum, sebagai tempat usaha masyarakat di bidang wisata," ujarnya.

Ia menambahkan, "Saat itu belum ada PP no 51 tahun 2016, tentang pantai, dan belum ada Dana Desa, sehingga hasil sewa dari pengelolaan pantai oleh masyarakat dipergunakan untuk pembangunan di desa Bandengan," imbuhnya.

Terpisah, Rahmad, salah satu tokoh masyarakat menyampaikan, "Konflik bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti penyalahgunaan jabatan, kurangnya transparansi, dan ketidakadilan dalam pengelolaan, seperti halnya yang terjadi di tempat Wisata Kampung Perahu Desa Bandengan Jepara, yang diperlakukan berbeda dengan tempat wisata di Prawean, sama sama di Desa Bandengan, tetapi di tempat tersebut semua fasilitas dibangun menggunakan Dana Desa,"terangnya.

"Perlu diingat, apabila Petinggi menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi, tentunya dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat dan menghambat perkembangan wisata," jelasnya.

Terkait permasalahan tersebut, awak media mencoba mendapatkan informasi yang utuh dari yang saat itu ikut hadir di lokasi, baik dari Pemdes Bandengan, dari Sekretaris Kecamatan Jepara Kota, maupun dari Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jepara.

Yudi, selaku Carik Bandengan saat dikonfirmasi awak media menjawab, "Benar, ada cek lokasi di Kampung Perahu," jawabnya singkat.

Sementara Kepala Satpol PP Jepara, Trisno Santoso, saat dikonfirmasi sedang melakukan patroli rutin, dan mengatakan akan memberi jawaban setelah menanyakan Komendan Regu (Danru), namun hingga berita ini diterbitkan belum memberikan jawabannya.

Terpisah, Sekretaris Kecamatan Jepara Kota, Muslichan memaparkan, "Saya tidak tahu ada konflik antara Petinggi Bandengan dengan ibu Santi pak. Saya dalam acara tersebut di undang oleh Dinas PUPR terkait verifikasi lapangan batas tanah milik pemprov untuk mencari titik koordinat sesuai patok tanah, harapan kami, semoga saja ada solusi terbaik untuk semua pihak," pungkasnya. ***

(Arif M)

Editor : Redaktur Buliran