Dana Reses Anggota DPR Rp2,5 Miliar Tiap Tahun, Untuk Apa?

Rapat paripurna DPR masa persidangan I tahun sidang 2025-2026 dipimpin Wakil Ketua DPR, Adies Kadir.
Rapat paripurna DPR masa persidangan I tahun sidang 2025-2026 dipimpin Wakil Ketua DPR, Adies Kadir.

"Salah satu elemen penting dalam kinerja anggota DPR adalah penggunaan dana reses, yang memungkinkan mereka "terjun ke lapangan" untuk menyerap aspirasi masyarakat—dan kemudian menindaklanjutinya. Namun, bagaimana implementasinya sejauh ini? Organisasi sipil mengkritik tidak adanya keterbukaan yang ideal di tengah penggunaan dana reses yang besar".

Buliran.com - Jakarta,

Berdasarkan hitung-hitungan yang dikonfirmasi organisasi masyarakat sipil, dana reses yang diterima anggota DPR menyentuh Rp2,5 miliar per tahun. Uang ini dipakai untuk menunjang kegiatan penyerapan aspirasi masyakarat di tiap daerah pemilihan melalui reses, kunjungan kerja, hingga rumah aspirasi.

Besarnya anggaran tersebut memantik kritik dari sejumlah organisasi nonpemerintah.

Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, pada Kamis (21/08) lalu, menuntut keterbukaan informasi perihal laporan pertanggungjawaban dana reses periode 2024-2025.

"Berapa yang diterima oleh setiap anggota DPR perlu kita ketahui. Ini karena ada potensi penyelewengan yang dilegalkan," terang Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, ketika dihubungi awak media, pada Senin (25/08).

"Pemasukan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya, tapi justru untuk menebus ongkos pemilu, biaya setor ke parpol [partai politik], atau merawat jejaring patronase untuk mempertahankan posisi di DPR dan modal pemilu berikutnya." ungkap Egi.

Desakan ICW muncul bertepatan dengan gelombang kritik yang dialamatkan ke DPR menyoal pendapatan resmi gaji beserta tunjangan setiap anggota sebesar lebih dari Rp100 juta.

Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), Arif Nur Alam, menyoroti pelaporan dana reses yang seharusnya diterapkan secara transparan.

Terlebih, pada tahun ini, DPR mendapatkan kenaikan anggaran menjadi Rp9,9 triliun dari sebelumnya Rp6,6 triliun, menurut APBN.

"Pertanyaannya adalah apakah mereka terbuka dengan basis evaluasi dari anggaran tahun-tahun sebelumnya," tukas Arif.

Di kelompok masyarakat, sejumlah narasumber yang diwawancarai media ini mengungkapkan kekecewaannya lantaran kesempatan anggota DPR bertatap muka dengan publik saat reses tidak kelihatan manfaatnya.

"Bahkan kalau reses pun paling orang tertentu dipanggil. Tapi, seberapa banyak pun hasil reses itu tidak pernah ada yang diteruskan," salah seorang warga memberi tahu.

"Nol Besar," cetusnya.

Secara terpisah, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan anggaran ini bukan wujud penghasilan untuk anggota. Penggunaan dana reses ditegaskan mengalir ke masyarakat di daerah pemilihan lewat pelbagai kegiatan yang direalisasikan ketika masa reses maupun sidang.

"Demi kepentingan masyarakat," ujar Misbakhun.

Apa itu reses dan bagaimana penentuan besaran anggarannya?

Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Kegiatan reses, yang bertujuan menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala, serta menampung dan menindaklanjuti aspirasi maupun pengaduan masyarakat, merupakan salah satu kewajiban DPR yang termaktub di UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Selain itu, kunjungan kerja dalam masa reses ada pula yang dikerjakan saat masa sidang, merupakan bentuk fungsi representasi rakyat sesuai peraturan tata tertib dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada masyarakat di tiap daerah pemilihan anggota.

Pada dasarnya, kunjungan kerja terbagi menjadi tiga, di antaranya yakni:

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses (4-5 kali dalam setahun persidangan)

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses atau pada masa sidang (1 kali dalam setahun)

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan di luar masa reses dan di luar sidang (8 kali dalam setahun)

Durasi kunjungan kerja pada masa reses berkisar dari lima hingga 30 hari sesuai dengan agenda yang ditetapkan. Sementara kunjungan kerja di luar masa reses dan masa sidang diatur paling lama tiga hari.

Besaran anggarannya beragam dan tidak banyak berubah sejak 2022 hingga 2026.

Mengacu pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) DPR periode 2025, anggaran yang disediakan untuk masing-masing adalah di bawah ini:

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses (4-5 kali dalam setahun persidangan): Rp1,37 triliun

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses atau pada masa sidang (1 kali dalam setahun): Rp140,5 miliar

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan di luar masa reses dan di luar sidang (8 kali dalam setahun): Rp868,4 miliar

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Bernard Allvitro, melakukan perhitungan "dana aspirasi" (salah satunya reses) sesuai jumlah kegiatan dan anggota dewan yang baru dilantik pada akhir 2024.

Hitungannya serupa dengan yang dilakukan BBC News Indonesia sebagai berikut:

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses (4-5 kali dalam setahun persidangan) Rp1,37 triliun dibagi 580 anggota = @ Rp2,36 miliar per tahun atau @ Rp472 juta per kegiatan

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses atau pada masa sidang (satu kali dalam setahun) Rp140,5 miliar dibagi 580 anggota = @ Rp 240 juta

  • Kunjungan kerja ke daerah pemilihan di luar masa reses dan di luar sidang (8 kali dalam setahun) Rp868,4 miliar dibagi 580 anggota = @ Rp1,5 miliar per tahun atau @ Rp187,5 juta per kegiatan.

Ini belum termasuk anggaran 'rumah inspirasi' yang masing-masing diterima anggota dewan sebesar Rp150 juta.

Dengan tambahan dana rumah inspirasi, kisaran angka yang diterima para anggota dewan untuk menyerap aspirasi masyarakat mencapai Rp4,2 miliar per tahun.

Lantas dari mana angka tersebut bisa diperoleh?

Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 mengatur anggota membuat rencana dan mengajukan anggaran kegiatan kunjungan kerja daerah pemilihan kepada fraksi yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk diproses.

Sementara hitungan dalam APBN dibuat berdasarkan kesepakatan DPR dengan kementerian keuangan melalui rapat pembahasan.

"Memang mekanisme proses penganggaran kalau dilihat dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara secara normatif, itu dibahas kementerian dengan DPR karena kebijakan anggaran itu ada di DPR dengan pemerintah," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Arif Nur Alam, kepada wartawan.

"Nah, DPR mengajukan sendiri [besaran dana kunjungan kerja] melalui BURT sampai ke sekjen [sekretariat jenderal]. Pertanyaannya adalah apakah mereka terbuka dengan basis evaluasi dari anggaran tahun-tahun sebelumnya?" imbuh Arif.

Pengelolaan dana reses dan aspirasi, sejauh ini, "tak banyak yang bisa kita telisik," terang peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, ketika dihubungi awak media.

Sejak pengajuan hingga laporan pertanggungjawaban kegiatan, termasuk penggunaan uangnya, Lucius menambahkan, "semuanya menjadi laporan tertutup dari anggota ke fraksi masing-masing." kata Lucius.

Selain kunjungan ke daerah dan pemanfaatan dana reses, aspek lain yang penting dipantau ialah rumah aspirasi, Lucius menuturkan.

"Di rumah aspirasi itu ada staf ahli dan staf administrasi. Anggaran rumah aspirasi ini juga dibebankan kepada negara, sesuai tata tertib DPR pasal 241," jelas Lucius.

"Yang jelas, dari banyaknya slot kegiatan untuk kunjungan ke dapil [daerah pemilihan] ini, kita bisa membayangkan besarnya anggaran yang diperoleh anggota untuk masing-masing jenis kunjungan kerja itu." imbuhnya.

Lucius memahami apabila muncul kritik yang menyebut bahwa dana reses dan kunjungan kerja merupakan pendapatan lain anggota DPR sebab tidak ada jaminan setiap kegiatan yang dimaksud bakal dilaksanakan.

"Bagaimana bisa ada jaminan kalau laporan kegiatan hanya dilaporkan ke fraksi saja?" tanya Lucius.

"Dengan jumlah kegiatan sebanyak itu, artinya setiap bulan ada jatah anggota DPR kembali ke dalilnya atas biaya yang ditanggung negara."

Anggaran reses DPR dapat peringatan dari BPK

Sesuai aturan, laporan kegiatan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran wajib dibuat dan diserahkan.

Laporan berpatokan pada surat perintah perjalanan dinas dengan tanda bukti penerimaan biaya perjalanan dinas yang diberikan secara lumpsum, sekali bayar, atas nama yang bersangkutan.

Meski ada aturan, bahkan panduan pengelolaan reses yang transparan dan akuntabel untuk anggota DPR yang dibuat Indonesian Budget Center (IBC) bersama Yayasan Tifa pada 2020, namun penerapannya masih jauh dari harapan.

"Bagaimana bentuk akuntabilitas reses yang dilakukan secara individu kepada publik? Apa saja yang mereka serap aspirasinya? Tematik aspirasi apa saja yang menjadi soal di dapil mereka? Bagaimana mereka mengartikulasikan dalam perbincangan baik di internal maupun secara eksternal?" ujar Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), Arif Nur Alam.

"Lalu, bagaimana mempercepat dalam konteks mengagregasi sehingga soal-soal di dapil mereka itu terkonsolidasi untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan masing-masing kementerian ketika pembahasan di internal antara pemerintah dan juga DPR yang diwakili di komisi masing-masing?" tambah Arif.

Menurut Arif, praktik reses tidak dipahami sepenuhnya oleh anggota DPR sehingga tertanam anggapan bahwa reses merupakan rutinitas belaka.

Alhasil, terjemahan yang lahir ialah kegiatan berbentuk tatap muka hingga ceramah yang dihadiri orang-orang terpilih atau konstituen terbatas.

"Tak jarang, Arif meneruskan, anggota DPR menunjukkan dirinya tengah sibuk mengorganisir masyarakat di sekitar agar yang hadir di acara tersebut terlihat banyak. Padahal, hanya formalitas," sebut Arif.

Temuan lainnya, tidak sedikit anggota DPR yang justru 'nebeng' dengan kementerian atau lembaga lain ketika melakukan reses.

"Apalagi, yang lebih miris, ketika reses mereka menunggu kebijakan dari kementerian. Misalkan, pembagian traktor atau bantuan yang lain, mereka yang menyerahkan. Ini sudah salah. Mereka ini legislator, bukan sebagai eksekutif," paparnya.

Mereka janjinya banyak, tapi tidak ada realisasi.

Merry Manu, warga Fatukoa, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), kesal karena keluhan masyarakat setempat soal pemenuhan hak dasar tidak pernah digubris negara, tidak terkecuali anggota DPR RI.

Jalan di sekitar lokasi Merry tinggal rusak, dan hanya satu ruas yang beraspal. Kondisi jalan yang bopeng memaksa masyarakat di sana berjibaku dengan kesusahan.

"Kami [punya jalan] sisa peninggalan dari zaman dulu. Itu pun aspal pertama saja. Habis itu sudah tidak pernah ada lagi pembangunan," tutur Merry.

Lalu masalah berikutnya adalah ketersediaan air bersih, yang disebut Merry "tidak ada."

"Kami di sini air bersih tidak ada. Maksudnya, yang dikonsumsi oleh masyarakat sekarang ini adalah air yang mereka tampung. Air hujan. Kalau musim hujan, kami minum air hujan," ceritanya kepada wartawan, Senin (25/08).

Merry kecewa sebab anggota DPR kerap menjanjikan banyak hal, seperti perbaikan jalan, manakala memasuki masa kampanye. Sayangnya, janji itu menguap tanpa jejak.

"Itu janjinya terlalu banyak. Jalan, katanya, mereka akan perhatikan, bahwa jalan ini akan diaspal. Jadi, janji yang mereka katakan itu tidak ada," ungkapnya.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Heroik Pratama, alokasi anggaran harus berjalan lurus dengan fungsi yang dilakukan, diistilahkan money for all functions.

Dalam konteks anggaran reses anggota DPR, ketika memang tujuannya adalah meningkatkan fungsi dari DPR itu sendiri, maka perlu dibuktikan "bagaimana fungsi jaring aspirasi dari para anggota DPR dibangun," sebut Heroik Pratama.

Setidaknya ada dua indikator yang dapat dipakai, lanjut Heroik.

Pertama, apakah saat selesai reses mereka akan membawa banyak aspirasi ini untuk disampaikan di dalam masa sidang berikutnya?

Kedua, apakah aspirasi tersebut difasilitasi dengan baik dan ditafsirkan lewat produk-produk kebijakan dari parlemen?

Kritik yang menargetkan hubungan antara anggaran dan kinerja DPR "bukan tanpa dasar," kata Heroik. Ini tak lepas dari posisi anggota DPR sebagai "wakil dalam menjalankan pemerintahan," Heroik menambahkan.

Di sistem politik demokrasi, DPR merupakan jembatan yang menautkan warga dengan negaranya.

"Ketika memang ini [anggaran dan kinerja] berbanding lurus, saya yakin publik akan menerima itu dengan baik," tutur Heroik.

"Tapi, kalau kemudian sebaliknya, ketika dana resesnya besar tapi kinerjanya dalam melakukan jaringan aspirasi, termasuk menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan budgeting tidak sesuai yang dikehendaki publik, maka wajar kritik atau desakan perbaikan itu muncul." pungkasnya. ***

(Arif M)

Editor : Redaktur Buliran