Buliran.com - Jepara,
Keluhan masyarakat Jepara mengenai praktik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah negeri sudah sering mendapatkan sorotan dari berbagai pihak dan juga berkali-kali di unggah di beberapa portal media online. Banyak orang tua yang merasa terbebani karena biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli LKS setiap semester, karena dirasakan cukup tinggi.
Namun praktek penjualan LKS di Jepara hingga saat ini masih berlangsung, jadi ajang bisnis cuan, seolah Pemerintah Kabupaten Jepara menutup mata terhadap permasalahan tersebut, Senin (27/10/2025).
Diketahui, Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Jepara, Ali Hidayat, pada saat rapat koordinasi dengan Komisi C DPRD Kabupaten Jepara, pada Maret 2025 menyatakan, bahwa LKS bukanlah kewajiban. Menurutnya, siswa memiliki kebebasan untuk membeli atau tidak membeli. Namun, kondisi di lapangan hingga saat ini sangatlah berbeda, LKS tetap menjadi ladang bisnis cuan dunia pendidikan di Jepara.
AR (40), salah satu warga desa di Kecamatan Kembang, mengatakan bahwa meskipun secara aturan LKS tidak diwajibkan, namun siswa tetap merasa terpaksa membeli.
“Harga LKS tidak murah. Orang tua dengan ekonomi menengah ke bawah jelas keberatan. Apalagi jumlah mata pelajaran cukup banyak,” ungkapnya.
AR yang pernah menjadi anggota komite sekolah memaparkan, untuk jenjang SD, siswa biasanya harus membeli 6–7 LKS dengan total harga antara Rp125.000 hingga Rp150.000 per satu semester.
Sedangkan di tingkat SMP, jumlahnya bisa mencapai 11 mata pelajaran dengan kisaran biaya Rp300.000–Rp350.000.
Karena satu tahun ajaran terdiri dari dua semester, beban biaya itu otomatis menjadi dua kali lipat.
Jika dihitung, satu SMP negeri dengan jumlah siswa sekitar 250 orang dari kelas 7 hingga kelas 9, maka dari penjualan LKS bisa menghasilkan omzet penjualan sekitar Rp76,8 juta per semester. Kalau dihitung dalam setahun, nilainya bisa mencapai Rp153,6 juta.
Jumlah tersebut baru dari satu sekolah. Jika ditotal dengan seluruh sekolah negeri di Kabupaten Jepara, maka angkanya tentu jauh lebih besar.
Choirur, selaku Humas Lintas Pelaku Masyarakat Pengawal Aspirasi (LPM - PEGAS) kepada awak media mengatakan, "Dampak Sosial dan Pendidikan dengan beban biaya pendidikan yang meningkat, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip sekolah gratis. Hak siswa terancam, karena akses materi belajar bergantung pada kemampuan membeli LKS. Keadilan pendidikan terganggu, menimbulkan diskriminasi antara siswa yang membeli dan yang tidak," ujarnya.
Melihat hal ini, lanjut Choirur, "Kami akan menuntut Pemerintah Kabupaten Jepara bersikap tegas. Praktik ini jelas bertentangan dengan sejumlah regulasi.
Ada larangan yang terabaikan
- PP Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 181, melarang guru menjual buku dan perlengkapan peserta didik di sekolah.
- UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, menegaskan pemerintah yang wajib menjamin ketersediaan buku.
- Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 Pasal 12a, menyebutkan sekolah dan komite dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun, termasuk penjualan LKS.
Dengan demikian, penjualan LKS di sekolah negeri bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan etik pendidikan," tegas Choirur.
"Pemkab Jepara tidak boleh menutup mata terhadap praktik penjualan LKS yang dirasa memberatkan wali murid. Jangan hanya diam, seolah-olah persoalan ini tidak ada. Pemkab harus hadir dan harus memberi solusi,” pungkasnya. ***
(Arif M)
Editor : Redaktur Buliran