Buliran.com - Jakarta,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk membuka data identitas para penyelenggara negara (PN) yang belum menyetor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) periodik tahun 2024.
Berdasarkan catatan KPK, hingga 9 Mei 2025, terdapat 11.114 penyelenggara negara yang belum melaporkan harta kekayaannya, padahal tenggat waktu pelaporan telah berakhir sejak 11 April 2025.
"Mereka yang masuk dalam daftar tunggak, daftar penyelenggara negara yang belum melaporkan LHKPN-nya dibuka aja," kata Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro saat dihubungi awak media, Selasa (13/5/2025).
Castro menilai, jika data tersebut diungkap, maka para penyelenggara negara yang tidak patuh akan menjadi sorotan publik atas ketidaksungguhan mereka dalam mencegah praktik korupsi di Indonesia.
"Setidak-tidaknya agar publik juga paham, oh ternyata mereka-mereka ini yang belum menyetor laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang artinya mereka tidak serius atau mereka tidak punya komitmen yang kuat untuk mencegah korupsi, termasuk salah satunya melalui mekanisme pelaporan LHKPN," ujarnya.
Ia menambahkan, penyelenggara negara yang tidak berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi tidak layak menduduki jabatan publik.
"Kan aneh itu. Menurut saya mereka tidak pantas menjadi penyelenggara negara kalau soal-soal semacam ini mereka juga tidak peduli dan mereka tidak konsisten," tegasnya.
Tak Ada Sanksi
Sebelumnya, KPK menyatakan tidak memiliki dasar regulasi untuk memberikan sanksi kepada penyelenggara negara yang belum melaporkan LHKPN. Termasuk kepada 11.114 orang yang belum menyampaikan laporan periodik untuk tahun 2024.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan bahwa para PN tersebut tidak bisa dikenai sanksi berupa pengungkapan identitas, sehingga sanksi sosial yang diharapkan masyarakat pun belum dapat diterapkan.
“LHKPN sebagai instrumen pencegahan belum memiliki regulasi yang mengatur terkait sanksi yang bisa diberikan kepada PN,” kata Budi saat dihubungi awak media, Selasa (13/5/2025).
Budi menjelaskan, KPK hanya dapat memberikan rekomendasi kepada kementerian atau lembaga asal penyelenggara negara tersebut agar memberikan peringatan atau sanksi internal, seperti mutasi jabatan. Sebaliknya, PN yang patuh dapat memperoleh promosi.
“Oleh karenanya, KPK mendorong penggunaan LHKPN sebagai salah satu instrumen dalam manajemen ASN di KLPD/BUMN/BUMD. LHKPN bisa menjadi salah satu basis pemberian reward/punishment, misalnya untuk promosi/mutasi jabatan. Sehingga setiap wajib lapor terdorong untuk patuh dalam menyampaikan LHKPN,” ujarnya.
Rekapitulasi pelaporan LHKPN per 9 Mei 2025:
1. Eksekutif
Jumlah Wajib Lapor: 332.353
Sudah Lapor: 324.358
Belum Lapor: 7.995
Persentase Pelaporan: 97,59%
Laporan Lengkap: 287.325
Belum Lengkap: 37.033
Kepatuhan: 86,45%
2. Legislatif
Jumlah Wajib Lapor: 20.752
Sudah Lapor: 18.254
Belum Lapor: 2.498
Persentase Pelaporan: 87,96%
Laporan Lengkap: 17.548
Belum Lengkap: 704
Kepatuhan: 84,56%
3. Yudikatif
Jumlah Wajib Lapor: 17.931
Sudah Lapor: 17.930
Belum Lapor: 1
Persentase Pelaporan: 99,99%
Laporan Lengkap: 17.464
Belum Lengkap: 468
Kepatuhan: 97,40%
4. BUMN/BUMD
Jumlah Wajib Lapor: 44.839
Sudah Lapor: 44.219
Belum Lapor: 620
Persentase Pelaporan: 98,62%
Laporan Lengkap: 40.545
Belum Lengkap: 3.674
Kepatuhan: 90,42%
5. Total Keseluruhan
Jumlah Wajib Lapor: 415.875
Sudah Lapor: 404.761
Belum Lapor: 11.114
Persentase Pelaporan: 97,33%
Laporan Lengkap: 362.882
Belum Lengkap: 41.879
Kepatuhan: 87,26%
(Ic/Red)
Editor : Redaktur Buliran