Buliran.com - Jakarta,
Sebanyak 5.626 kasus keracunan akibat MBG sejauh ini ditemukan di puluhan kota dan kabupaten di 16 provinsi. Muncul dua opsi untuk tetap menghentikan sementara dengan evaluasi menyeluruh atau menghentikan dengan mengalihkan anggarannya untuk pendidikan.
Opsi ini mengemuka dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan para warga yang mulai was-was karena anak-anaknya selama ini menerima MBG di sekolahnya.
Akhir Juni lalu, kasus keracunan MBG tercatat 1.376 anak. Hanya dalam tiga bulan, siswa sekolah hingga guru yang mengalami keracunan menggelembung empat kali lipat.
Bahkan pekan kemarin, peristiwa keracunan terjadi di dua lokasi berbeda.
Pada Rabu (17/09), lebih dari 300 anak keracunan MBG di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tenggah. Sehari setelahnya, sebanyak 569 anak mengalami hal serupa di Garut, Jawa Barat.
Founder dan CEO lembaga kajian Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih berkata, kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es.
Menurutnya, angka jumlah kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak, karena dia menilai, pemerintah sejauh ini belum menyediakan dasbor pelaporan yang bisa diketahui publik.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato dan video capaian kerjanya hanya fokus pada jumlah penerima yang telah mencapai 21 juta anak.
Para orangtua murid mulai khawatir dan berpikir lebih baik dana MBG dialihkan pada perbaikan pendidikan.
Apalagi dari sekolah juga muncul surat persetujuan terkait MBG yang seolah menekan orangtua dalam bentuk pertanggungjawaban, baik jika mengalami keracunan hingga kehilangan tray makan.
Di media sosial, beredar juga surat tersebut. Bahkan di dalamnya bertuliskan tidak boleh memberikan informasi keluar apabila ada kasus keracunan.

Kepala BGN Dadan Hindayana menyatakan tidak pernah mengeluarkan surat-surat tersebut.
Ia pun mengaku tengah melakukan evaluasi terhadap kejadian luar biasa ini.
Sejumlah langkah dilakukan, kata Dadan, dan salah satunya adalah pembentukan Satgas KLB.
'Lebih baik dialihkan untuk pendidikan'
Seorang ibu rumah tangga di Makassar, Sulawesi Selatan, Lina (42) berpendapat program MBG terlalu terburu-buru, mengingat sampai sekarang program tersebut belum menyentuh semua anak sekolah.
Ketiga anak Lina saat ini duduk di bangku SD, SMP dan SMA.
Dari ketiga anaknya itu hanya satu yang baru menerima MBG. Ia pun mengaku bingung dengan program tersebut.
Bahkan, kata dia, sebagai "warga negara biasa" kecil kemungkinan didengar keluhannya oleh pemerintah.
Dia sendiri mengaku ada masalah yang ingin dia tanyakan, yaitu nilai gizi yang disajikan dalam menu-menu MBG.
"Lagian menu-menu yang disajikan ke anak-anak itu apa memang betul-betul bergizi seperti yang diklaim pemerintah? Saya juga tidak yakin. Contoh saja anak saya diberi menu burger, yang lebih sering disebut junk food. Saya juga tidak tahu apakah nilai gizinya ada seperti yang disebut takaran gizinya," ujar Lina.
"Kadang juga (menu MBG) hanya dengan lauk telur dan tempe, tahu tempe tambah sayur, kadang juga lauk ayam. Nah kalau begini menu di rumah juga begini, bahkan lebih variatif malah," sambungnya.
Lina mengusulkan lebih baik MBG dianggarkan untuk program pendidikan yang benar-benar menyentuh dan meringankan pengeluaran tambahan orang tua.
"Jadi dialihkan kepada pendidikan yang pure gratis tidak ada pungutan sama sekali. Urusan gizi itu jadi urusan orang tua, dengan catatan buka itu lapangan kerja seluas-luasnya, bukan PHK di sana-sini kan yang terjadi saat ini," ujar Lina
"Jadi tidak ada orangtua atau anak yang tidak sekolah dengan alasan tidak punya uang beli seragam buku dan lainnya," Lina menambahkan.
Seperti diketahui, anggaran MBG yang diambil dari anggaran pendidikan mencapai Rp335 triliun.
Secara terpisah, seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Azizah (35) menilai MBG ini sebenarnya bisa bermanfaat jika dijalankan dengan perhitungan yang matang, seperti sebagai alternatif menghindari anak-anak jajan makanan instan.
"Kita lihat kenapa sekarang banyak anak-anak yang sudah cuci darah dan ginjalnya bermasalah karena anak-anak tidak terkontrol jajannya di sekolah. Jadi, menurutku jika pemerintah kaji ini (MBG) lebih baik lagi bisa bermanfaat tapi kalau dilihat kondisi saat ini kan ada anak-anak keracunan," terang Azizah.
Selain banyaknya kasus keracunan siswa, ibu tiga anak ini juga mempertanyakan menu yang disajikan. Karena menurutnya, banyak makanan terbuang.
"Kan kita bisa lihat di lapangan itu banyak makanan yang terbuang, mubazir jadinya. Karena kan selera anak-anak itu berbeda-beda jangan disamaratakan. Makanya mungkin (dana MBG) dialihkan ke sarana pendidikan seperti bangunan sekolah," jelasnya.
Pras (40), orangtua siswa asal Batang, Jawa Tengah juga berpendapat senada.
"Sangat setuju (MBG dihentikan) misal dikonversi ya. Yang penting pengelolaannya benar. Ini kan pengelolaannya banyak permainan sih ya," kata Pras.
Bagi Pras, program MBG masih belum tepat sasaran dan banyak pihak yang memanfaatkan menjadi momen mencari keuntungan.
"Sebenarnya tidak masalah tetap berlangsung, yang terpenting penataan atau pengelolaannya itu benar," ujar Pras.
"Misalnya dapur MBG dikelola di sekolah, itu lebih efektif dibanding bikin dapur terus terpisah. Artinya setiap sekolah diberi kesempatan untuk mengelola MBG sendiri," imbuhnya.
Alasan dirinya mendorong untuk dibuka dapur MBG di sekolah karena saat ini sering terjadi keterlambatan dan proses distribusinya lama
"Bayangkan sekarang MBG dapur umumnya di luar, masaknya pagi dini hari. Misal jam 2 pagi atau jam 1 pagi, terus sampai sekolah jam 12 siang," paparnya.
"Itukan butuh waktu panjang dan proses pengiriman segala macam itu tidak efektif. Jadi kebanyakan makanannya bermasalah. Sebenarnya bukan karena makanan yang racun tapi karena perputarannya terlalu jauh," ucapnya.
Melihat kondisi seperti ini, dirinya mengaku lebih setuju jika program MBG ini dihentikan atau dialihkan untuk dana pendidikan.
"Menurut saya kalau memang efektif dialihkan lebih baik dialihkan ya. Itu kan proyek yang enggak jelas gitu ya," kata Pras.
"Sangat setuju, dikonversikan untuk dana pendidikan yang lebih baik. Pokoknya kebijakan pemerintah asal pro rakyat kita dukung."
Dalam waktu yang hampir bersamaan, di sejumlah daerah di Jateng dan Daerah Istimewa Yogyakarta, beredar sebuah surat dengan kop Badan Gizi Nasional.
Di dalamnya tertulis perjanjian kerja sama antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan penerima manfaat.
Intinya, isi surat perjanjian itu menyebutkan orang tua siswa penerima manfaat MBG siap bertanggungjawab jika ada kejadian yang menimpa anaknya terkait MBG.
Orang tua juga diwajibkan mengganti tray jika hilang dengan membayar Rp80 ribu.
Kepala BGN, Dadan Hindayana menyampaikan surat dan kebijakan tersebut bukan dari BGN.
Dadan berkata pihaknya menghormati jika ada yang tidak ingin menerima makan bergizi, termasuk anak-anak dan orang tua yang trauma akibat keracunan.
"Jadi kami tidak paksakan, itu yang pertama. Kedua, kami tidak pernah meminta pihak mana pun untuk menyembunyikan kejadian. Bahkan sebetulnya kami mendorong semua SPPG memiliki media sosial untuk menyampaikan semua kegiatannya secara terbuka, termasuk menu hariannya sehingga bisa dipantau," ujar Dadan.
"Saya kira di era seperti ini sulit menutupi semua kejadian itu. Karena semakin kita berikan tekanan seperti itu, saya kira akan semakin banyak hal-hal yang dilaporkan diam-diam dan itu malah menjadi kontra produktif untuk Badan Gizi Nasional."
'Hentikan sementara dan evaluasi menyeluruh'
Sementara itu, orang tua siswa asal Kota Semarang, Catur menilai, bahwa program MBG tidak perlu dihentikan, hanya saja ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki.
"Kalau menurut saya dilanjutin tidak apa-apa dengan catatan yaitu harus ada pengawasan yang lebih ketat di pengolahannya dan penggunaan dananya itu," ucap Catur.
Berdasarkan cerita anaknya sebagai penerima manfaat program MBG, dari segi makanan tentunya memiliki plus minus, sehingga kadang membantu gizi anak dan kadang juga ada makanan yang basi.
"Kalau programnya bagus, tapi nyuwun sewu kadang ada yang menurut dia (anaknya) kayak basi gitu. Terus anak saya ini kan tidak suka pedas, jadi ya kurang suka atau kurang cocok di menunya gitu," kata Catur.
Ia menilai, program ini memiliki tujuan yang bagus, hanya saja secara pengawasan masih kurang dan sehingga sering terjadi insiden yang merugikan para siswa.
"Meskipun di dapur itu ada ahli gizinya, maksudku kadang kok bisa keluarnya makanan kayak gitu, Jika dilihat itu, ketika dipegang oleh chef yang betul-betul bisa makanannya juga enak."
Kemudian ia juga menilai, kadang memang terjadi kondisi yang cukup berat sebelah antara daerah satu dengan yang lain. Artinya secara gizi dari program ini kadang tidak merata satu sama lain.
"Memang harga bahan pokok di setiap daerah berbeda-beda. Tapi kan harusnya enggak sampai jomplang kayak gitu kan. Berarti kan ada pengawasan yang kurang dari BGN-nya," ujar Catur.
Lembaga kajian Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), juga mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara program MBG secara menyeluruh.
"Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025," kata Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih kepada wartawan Riana A Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (21/09).
"Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik," ucap DIah.
Meski dirancang untuk meningkatkan status gizi anak, MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang dari aspek regulasi, keamanan pangan dan kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi.
Selain kasus keracunan akibat makanan tidak layak atau tidak higienis, menu MBG di banyak sekolah diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.
Diah menambahkan, maraknya kasus keracunan serta masifnya produk pangan ultra-proses dalam menu MBG juga merupakan bentuk pelanggaran hak penerima manfaat program ini, khususnya anak usia sekolah.
Untuk itu, Diah menyampaikan butuh evaluasi menyeluruh dengan memberhentikan sementara program ini.
"Klaim pemerintah bahwa program ini dapat disempurnakan sembari berjalan terbukti gagal karena kasus keracunan terus berulang dan bertambah. Apabila pemerintah bersikukuh menjalankan MBG tanpa evaluasi total, dikhawatirkan kasus keracunan MBG akan terus terjadi dan mengancam kesehatan anak-anak," ujar Diah.
"Sementara, upaya pemerintah untuk memulihkan hak anak yang menjadi korban keracunan masih belum jelas."
Paralel dengan moratorium MBG, CISDI juga mendorong pemerintah segera mengatasi persoalan transparansi dan akuntabilitas yang selama ini menghambat publik untuk terlibat mengawasi pelaksanaan program ini.
"Sembari menjalankan moratorium, pemerintah perlu segera membuka kanal pelaporan dan memproses segera aduan publik sebagai langkah awal dari upaya pemulihan hak korban atas kerugian yang ditimbulkan dari kasus keracunan dan makanan yang tidak layak," kata Diah.
Menurut Diah, akuntabilitas program MBG saat ini patut dipertanyakan. Dengan klaim telah berlangsung di 38 provinsi dengan jumlah penerima manfaat MBG diklaim mencapai 22 juta.
Akan tetapi, angka tersebut tidak dapat diverifikasi karena minimnya informasi yang dapat diakses publik, tambahnya.
Serapan anggaran MBG per September 2025 pun hanya sebesar Rp13,2 triliun.
Angka ini setara 18,6% dari alokasi APBN untuk MBG sebesar Rp71 triliun.
Apa langkah dari BGN?

Kepala BGN Dadan Hindayana mengaku segera melakukan evaluasi menyeluruh dengan membentuk Satgas KLB.
Namun untuk sejumlah lokasi yang terdampak, yang terbaru di Banggai dan Garut, Dadan sudah memeriksa persoalannya dan menghentikan sementara operasi SPPG yang mengeluarkan makanan tersebut.
Penghentian sementara ini durasinya tergantung pada tingkat permasalahannya.
Kejadian di Bogor, kata Dadan, butuh waktu yang lama karena harus merenovasi bangunan SPPG yang digunakan.
Namun, ada juga yang dalam sepekan atau dua pekan sudah beroperasi kembali.
"Jadi, di Banggai ini sebetulnya kan SPPG-nya sudah lama berjalan, bukan SPPG baru. Selama ini juga kegiatan sudah rutin, berjalan dengan baik, tidak pernah ada kejadian. Menu yang disajikan kemarin yang menyebabkan anak banyak ke alergi itu menu yang sudah biasa dilakukan," ucap Dadan.
"Tapi ternyata kemudian di sana terjadi pergantian supplier ikan cakalangnya. Nah, ini betul-betul memberikan inspirasi baru ya bahwa pergantian supplier pun tampaknya harus dilakukan dengan seksama. Tidak boleh sekaligus berpindah, jadi harus dilakukan bertahap," kata Dadan.
Ia mengklaim pemantauan dan pengawasan berjalan terhadap SPPG.
"Misalnya, mereka wajib berkoordinasi dengan perangkat daerah terkait dengan kualitas bahan baku, kemudian juga kualitas pelayanan masak. Kemudian, kami juga melakukan training berulang dan tiap sore itu, ada valuasi terhadap apa yang dilakukan pada hari itu."
"Jadi, di Garut ini terus terang ya saya juga baru tahu. Sebetulnya dia masakannya bagus karena sekolah juga banyak, tapi untuk satu sekolah yang akan dikirim terakhir itu ketika mau dikirim nasinya habis," ujar Dadan.
"Nah, itu kan hal yang terjadi sangat mendadak kemudian akhirnya agar makanan itu bisa dikirim kan nasinya harus dimasak dulu, sehingga ada waktu jeda masakan itu kemudian tertunda dan akhirnya mungkin basi dan itu menimbulkan gangguan pencernaan," kata Dadan.
Hal-hal semacam ini masuk dalam catatan evaluasi terus-menerus. Sebab, semakin banyaknya SPPG, maka variasi kesulitan di masing-masing daerah memiliki kekhasannya masing-masing.
Satgas KLB dirancang agar kualitas layanan ini betul-betul bisa terjaga dalam sejumlah hal: rantai pasoknya harus bagus, bahan bakunya harus yang berkualitas, dan proses dan pengirimannya harus tepat waktu.
Per September 2025 ini, jumlah SPPG mencapai 8.750. Dari seluruh SPPG yang beroperasi tersebut, semuanya merupakan mitra yang mendaftar di mitra.bgn.go.id.
"Sampai sekarang belum pernah membangun SPPG berbasis APBN," kata Dadan.
Dalam proses pendaftaran tersebut, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi seperti kelengkapan legalitas, kesiapan sarana prasarana, dan titik lokasi yang berbasis geospatial.
BGN kemudian melakukan verifikasi. Setelah lolos, mitra diberi waktu 30-45 hari untuk proses persiapan yang mencakup: pembangunan bagi mereka yang membangun dari awal dari tanah kosong atau renovasi bagi mereka yang mengkonversi bangunan sebelumnya.
Setelah siap, petugas lapangan akan memeriksa seluruh persyaratan yang ada mulai dari alur proses, kelengkapan peralatan, termasuk pengolahan limbahnya.
"Kalau sudah oke maka kemudian kami akan keluarkan berita acara verifikasi validasi dan kami akan tempatkan kepala satuan pelayanan gizinya. Uang operasional untuk bahan baku juga akan cair dalam 10 hari ke depan," ujar Dadan.
Pasca maraknya kejadian keracunan seiring bertumbuhnya SPPG baru, Dadan meminta agar SPPG baru tidak langsung melayani banyak sekolah.
"Kami sarankan untuk tahap awal melayani misalnya 2 atau 3 sekolah sampai mereka terbiasa untuk memasak dengan baik dan juga mengirim tepat waktu."
Terkait masa libur sekolah lalu yang bisa dimanfaatkan sebagai waktu evaluasi, Dadan menyebut program ini sebenarnya masih pada tahapan pertumbuhan.
"Tahun depan sebetulnya baru kita akan masuk di sertifikasi dan akreditasi. Tapi dengan kejadian-kejadian seperti ini mungkin kita akan lakukan akreditasi-sertifikasinya bisa lebih awal untuk SPPG yang sudah terbentuk."
Mengenai makanan ultra proses, Dadan menegaskan itu hanya terjadi saat bulan puasa. Minuman susu berperisa gula tinggi juga sudah disampaikan untuk tidak lagi diberikan.***
Artikel ini dikerjakan oleh wartawan di Jakarta Surya C, wartawan Jasman dari Aceh, wartawan Deni dari Medan yang saat ini di Makassar dan Isaac J dari Semarang.
Editor : Redaktur Buliran