Oleh: Yanto — Anggota LPKMI
Buliran.com | Redaksi - Mandeknya SP2HP Kasus Boom Marina Banyuwangi, Ada Kelalaian atau Kesengajaan?
Sebagai anggota LPKMI, saya menilai ada sesuatu yang tidak wajar dalam proses penanganan laporan dugaan pungutan liar, penipuan, dan pengelolaan wisata tanpa izin di kawasan Pantai Boom Marina Banyuwangi, sebuah kasus yang sebelumnya telah dirilis secara terbuka melalui pemberitaan InvestigasiMabes.com.
Kasus ini tidak hanya menyangkut pelanggaran administratif dan pidana, tetapi juga menyangkut martabat pelayanan publik dan komitmen Polri terhadap transparansi penegakan hukum.
LPKMI telah menyampaikan laporan resmi sejak hampir dua tahun lalu, disertai bukti pungutan di pintu masuk, penyewaan fasilitas tanpa izin usaha pariwisata, serta sejumlah indikasi perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat dan berpotensi menggerus PAD daerah. Namun hingga hari ini, yang kami dapat justru kebuntuan.
Sejak Agustus hingga kini, pihak pelapor tidak menerima satu pun SP2HP.
Padahal Perkap No. 6 Tahun 2019 dengan tegas mewajibkan penyidik untuk:
Memberikan SP2HP setiap 30 hari,
Menyampaikan perkembangan perkara secara berkala,
Menjamin transparansi proses penyidikan kepada pelapor.
Ketika aturan internal Polri sendiri diabaikan, maka pertanyaannya sederhana:
Ini kelalaian atau ada unsur kesengajaan?
Karena dalam praktiknya, kelalaian yang berlangsung berbulan-bulan tanpa koreksi bukan lagi sekadar abai — tapi berpotensi menjadi bentuk pembiaran administratif, bahkan memberi ruang kepada publik untuk menduga adanya “perlindungan” terhadap pihak-pihak tertentu.
LPKMI Melapor, Tapi Mengapa Justru yang Resmi Dibiarkan Mangkrak?
Sebagai lembaga yang berperan aktif dalam pengawasan publik, LPKMI telah menjalankan tugas konstitusional dan sosialnya.
Namun apa jadinya ketika laporan resmi justru “mengendap” tanpa kepastian?
Kasus Boom Marina bukan laporan sembarangan.
Isinya jelas, bukti valid, dan telah menjadi perhatian publik melalui artikel investigatif yang sebelumnya terbit di InvestigasiMabes.com, yang mengangkat adanya:
Loket pungutan tanpa dasar hukum,
Kegiatan usaha wisata tanpa izin,
Keuangan yang tidak jelas ke mana mengalir,
Serta indikasi kerugian bagi masyarakat dan daerah.
Dengan bobot laporan seperti ini, tidak ada alasan objektif bagi penyidik untuk menghentikan transparansi SP2HP.
SP2HP bukan sekadar kertas.
Ia adalah hak pelapor, bentuk kontrol publik, dan barometer keseriusan aparat dalam menjalankan penyidikan.
Ketika SP2HP tidak diberikan, maka:
Keadilan tertunda,
Penyidikan kehilangan akuntabilitas.
Dan publik dibiarkan bertanya-tanya siapa yang sedang dilindungi.
Ini tidak boleh dibiarkan.
Polri harus menjawab, bukan dengan retorika, tetapi dengan tindakan.
LPKMI Mendesak Penegakan Hukum yang Tegas dan Transparan
Sebagai anggota LPKMI, saya menyampaikan opini ini untuk menegaskan bahwa:
1. LPKMI berhak mendapat SP2HP sesuai aturan,
2. Setiap laporan masyarakat harus diperlakukan setara,
3. Penyidik wajib menjunjung asas transparansi,
4. Dan kebenaran hukum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pihak mana pun.
Kami meminta Propam dan Irwasda melakukan evaluasi menyeluruh terkait mandeknya SP2HP atas laporan Boom Marina Banyuwangi ini. Karena penundaan tanpa alasan yang jelas hanya akan melukai kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Kalau laporan resmi dari lembaga seperti LPKMI saja bisa dibiarkan mandek selama hampir dua tahun,
lalu bagaimana nasib masyarakat kecil yang tidak punya akses, tidak punya keberanian, dan tidak punya suara?
Penegakan hukum harus kembali ke relnya: transparan, adil, dan tanpa pengecualian.
LPKMI akan terus mengawal proses ini sampai tuntas — karena keadilan tidak boleh berhenti di meja penyidik.
Editor : Buliran NewsSumber : Red