Skandal Suap Vonis Lepas Kasus Ekspor CPO, Kejagung Akui Mustahil Pegawai Mampu Suap Hakim

Kepala Tim Hukum Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY) mengenakan rompi merah di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Kepala Tim Hukum Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY) mengenakan rompi merah di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (15/4/2025).

Buliran.com - Jakarta,

Kejaksaan Agung (Kejagung) meragukan kesaksian anggota tim legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY), yang mengklaim uang suap ke hakim untuk vonis lepas kasus korupsi pemberian izin minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), berasal dari kantong pribadi.

“Pertanyaan mendasarnya sama seperti pernyataan kita hari ini, dari mana sumber dananya? Lalu MSY ini mengatakan dari saya, kalau dari dia konteksnya apa? Apa kepentingannya? Kan itu pertanyaan mendasar,” kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar di Jakarta, dikutip Jumat (9/5/2025).

Kejagung tidak yakin pegawai legal perusahaan bisa mengeluarkan dana puluhan miliar rupiah untuk menyuap hakim. Apalagi, kasus ini berkaitan dengan tempat dia bekerja, dan bukan urusan pribadinya. Bisa jadi pertanda bakal ada tersangka korporasi dalam kasus ini.

“Kecuali misalnya hubungannya, hubungan personal. Kalau hubungan personal pun apakah sebanyak itu? Sementara ini kan bukan hubungan personal (namun, urusan perusahaan),” ujar Harli.

Kejagung menetapkan delapan tersangka dalam kasus suap sebesar Rp60 miliar ini. Mereka ialah hakim Djuyamto, hakim Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtarom, dan Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu merupakan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Sementara tersangka lainnya adalah Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), Marcel Santoso dan Ariyanto Bakri sebagai advokat atau pengacara, serta Muhammad Syafei selaku anggota tim legal PT Wilmar Group.

Selain itu, penyidik Kejagung juga telah menggeledah sejumlah lokasi dan mengamankan barang bukti. Antara lain berupa uang Dolar Amerika Serikat (USD) dan Dolar Singapura (SGD), serta puluhan kendaraan mewah.

Aktivis antikorupsi Boyamin Saiman mengaku kecewa dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang baru menetapkan Muhammad Syafei, Head of Social Security Legal Wilmar Group, sebagai tersangka dalam dugaan pemberian suap terkait pengkondisian perkara dengan putusan onslag terhadap tiga terdakwa korporasi dalam kasus ekspor ilegal crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah.

"Saya terus terang saja kecewa atas pengumuman tersangka baru dalam kasus dugaan pengaturan putusan CPO yang menyangkut korporasi atau perusahaan. Karena kalau menurut saya, Syafei yang ini adalah social response legal, ini kan seakan-akan bagian dari CSR itu," kata Boyamin kepada awak media, Senin (28/4/2025).

Boyamin menilai, tidak mungkin jabatan Head of Social Security Legal mampu mengeluarkan dana sebesar Rp60 miliar. Ia menduga pihak penyandang dana suap tersebut berada di jajaran Direksi Wilmar Group.

"Jadi mestinya itu adalah kepada pihak yang punya otorisasi mengeluarkan uang. Ya siapa itu ya level saya ya direksi mestinya gitu," ucapnya.

"Tapi kan kalau bicara analisa, ya mestinya ini kan orang yang punya kewenangan untuk mencairkan uang itu kan di level direksi," sambungnya.

Oleh karena itu, Boyamin menyatakan kekecewaannya karena Kejaksaan Agung belum menetapkan tersangka dari jajaran Direksi PT Wilmar.

"Nah kalau sepanjang belum direksi, menurut saya ya masih mencewakan. Kalau toh ini ada yang di bawah direksi itu ya karena turut serta aja atau membantu. Tapi mestinya level-level ini (direksi) ya saya tidak pada sisi tidak menjustifikasi," ujarnya.

Selain Wilmar Group, Boyamin juga mencurigai keterlibatan korporasi lain, yakni PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group, dalam kasus suap pengondisian perkara tersebut. Ia menduga nilai suap terbesar berasal dari Wilmar Group, mengingat Kejaksaan Agung menuntut pengganti lebih dari Rp10 triliun, tepatnya Rp11,8 triliun.

"Dan mestinya juga dari perusahaan yang lain kan diduga juga bisa jadi ada yang juga ikut nyawer kan gitu kan. Tapi ya bisa aja karena Wilmar itu yang paling tinggi di angka di atas 10 triliun mungkin ya bisa aja dia yang membiayai gitu," ujarnya. (Ical)

Editor : Redaktur Buliran