BuliranNews, JAKARTA - Saat menjelang Bulan Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini, geliat ekonomi di Pasar Tanah Abang, Jakarta sudah kembali bergeliat. Namun, produk yang mendapat berkah dari fenomena ini ternyata didominasi produk impor, di antaranya adalah hijab hingga beha kaum hawa."Seperti beha itu impor semua itu, sama hijab juga sebagian besar impor," ujar Ricky, seorang pedagang di Jembatan Penyeberangan Multiguna Tanah Abang, Kamis (17/3).
Baik hijab dan beha impor ini memiliki keunggulan tersendiri yang umumnya jarang dimiliki produk lokal. Misalnya beha impor yang disebut-sebut lebih terasa nyaman dipakai.Sementara itu untuk hijab impor juga memiliki kelebihan dalam hal motif. Banyak hijab impor yang memiliki motif tertentu namun tidak bisa diikuti oleh produksi hijab lokal. Hal ini terjadi akibat keterbatasan mesin produksi.
"Kemudian lebih lembut juga, jadi kalau dipakai nggak panas. Buat pasar Indonesia dengan iklim tropis seperti ini mungkin lebih cocok," sebut Ricky.Sementara itu dari segi harga juga produk impor bisa lebih murah. Pabrikan manufaktur di China lebih bisa mengatur ongkos produksi sehingga menjadi lebih murah, salah satu penyebabnya karena didukung otomisasi sehingga menekan beban produksi.
"Ambil dari Gouangzhou, China. Sejak dulu ambil dari sana karena sudah ada link juga. Bahannya macam-macam, ada poliester, katun, saya juga kirim lagi ke banyak kota karena udah langganan, ada Surabaya, Medan, barusan juga ke Lombok," sebut pemilik Acong Fashion yang berlokasi di Blok A lt LG los F no 51 ini.Banyaknya pedagang yang mengimpor produk garmen impor membuat produk lokal kerap tergempur. Selain China, Bangladesh merupakan negara pemasok garmen terbesar.
Berdasarkan data dari Trademap, ekspor produk tekstil (garmen) dengan kode HS61-52 Bangladesh menempati urutan kedua di bawah China, nilainya mencapai US$ 36,13 miliar, sementara Indonesia hanya 1/6nya, yakni US$6,98 miliar."Eksportir pakaian jadi dunia itu nomor satu China, nomor dua Bangladesh, dan nomor 3 Vietnam. Bea masuk dari China nol persen, dan saat ini dari Bangladesh 20-25% tergantung kode HS," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu. (*/hoi/cic)
Editor : Buliran News