Scroll untuk baca artikel

3 Jam Bedah Tafsir Bersama Gus Baha, Kemenag: Dari Substansi, Bahasa, hingga Terjemahan

Gus Baha. (Foto: Kemenag)
Gus Baha. (Foto: Kemenag)

Ia menambahkan, perbedaan pandangan soal naskh-mansukh tidak bisa dianggap setara. “Khilaf semacam ini tidak boleh diposisikan sama. Dalam fikih, Yusuf Ali jelas keliru, bukan saya yang menyalahkan, tapi konsensus ulama,” ujarnya.

Pentingnya Bahasa yang Nyaman Dibaca

Selain soal substansi, Gus Baha menyoroti aspek bahasa dalam tafsir. Menurutnya, penyajian tafsir harus mudah dipahami semua kalangan, sehingga istilah-istilah Arab sebaiknya diterjemahkan.

“Tafsir ini harus bisa dibaca dengan nyaman. Kata balagho, misalnya, jangan dibiarkan begitu saja,” jelasnya.

Ia juga menekankan perlunya penyesuaian dalam transliterasi Arab-Indonesia. “Kata tawadu lebih pas ditulis tawadhu’ dengan apostrof. Ria sebaiknya riya’. Bahkan kata Zat mestinya ditulis Dzat. Benar saja tidak cukup, harus nyaman juga bagi masyarakat umum,” kata Gus Baha.

Proses Penyempurnaan Tiga Tahun

Program penyempurnaan Al-Qur’an dan Tafsirnya dijadwalkan berlangsung selama tiga tahun. Tim penyempurnaan melibatkan para ulama pakar tafsir, ahli ulumul quran, pakar bahasa Arab, pakar sains, serta pakar bahasa Indonesia. ***

Editor : Redaktur Buliran
Bagikan

Berita Terkait
Terkini