Buliran, Jakarta - Maraknya travel gelap bukan sekadar tren atau inovasi, melainkan bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan transportasi umum yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bukan semata kesalahan pengguna, tetapi lebih kepada tidak adanya pilihan lain bagi masyarakat yang membutuhkan mobilitas cepat, efisien, dan terjangkau.
Pasal 138 dan 139 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 jelas mengamanatkan bahwa pemerintah wajib menyediakan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa layanan angkutan umum terutama di pedesaan sudah banyak yang punah. Transportasi legal seperti Bus AKAP dan AKDP hanya melayani rute antarterminal tipe A, sementara kebutuhan perjalanan door to door yang fleksibel semakin meningkat.
Keberadaan travel gelap yang menjamur di berbagai daerah, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Barat ke Jabodetabek, menjadi bukti nyata minimnya layanan angkutan umum yang menjangkau desa-desa. Dengan sistem jemput penumpang langsung dari lokasi yang ditentukan, fleksibilitas pembayaran, dan layanan antar hingga tujuan, travel gelap menjadi pilihan utama masyarakat dibandingkan harus bergantung pada transportasi umum yang tidak efisien.
Ke depan, pemerintah harus menata ulang sistem transportasi umum, termasuk mengizinkan Bus AKAP masuk ke pedesaan seperti yang telah berhasil dilakukan di Wonogiri. Selain itu, revisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ perlu memasukkan mandatory pembiayaan angkutan umum agar Indonesia bisa memiliki sistem transportasi yang lebih baik menuju 2045.
_Oleh Djoko Setijowarno , Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat_
Editor : Buliran NewsSumber : _Oleh Djoko Setijowarno , Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat_