Jakarta 1960-an: Sarang Prostitusi yang Bikin Pusing
Mari kita menengok ke belakang. Sejak era 1960-an, Jakarta mengalami gelombang urbanisasi besar-besaran. Orang-orang dari seluruh pelosok negeri berbondong-bondong datang ke ibu kota, berharap mengadu nasib dan meraih mimpi. Tapi tak jarang, mimpi itu berujung pada kerasnya hidup dan munculnya masalah sosial-ekonomi, termasuk ledakan praktik prostitusi.
Dimasa itu, tempat-tempat prostitusi menjamur di hampir setiap sudut Jakarta. Terutama di pusat ekonomi macam perkantoran, pelabuhan, hingga stasiun kereta. Para PSK bebas berdiri di pinggir jalan, menunggu pelanggan. Bahkan, ada fenomena 'becak komplet', di mana PSK bekerja sama dengan tukang becak. Mereka akan diajak keliling mencari calon pelanggan, tak ubahnya seperti sales keliling.
Pemandangan ini bikin wajah Jakarta semrawut, kumuh, dan menimbulkan keresahan sosial yang kompleks. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin (1966-1977), atau akrab disapa Bang Ali, melihat ini sebagai bom waktu yang harus segera dijinakkan. Apalagi, banyak PSK yang usianya masih belasan tahun.
"Saya ngilu menyaksikannya. Di antara wanita-wanita itu ada anak-anak kecil yang masih belasan tahun umurnya," curhat Bang Ali dalam autobiografinya, Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1994). Hatinya teriris melihat kondisi itu.Berbagai usulan sempat muncul, mulai dari pemberdayaan hingga pelatihan kerja. Tapi semua dianggap tak realistis. Bagaimana tidak? Jumlah PSK mencapai ribuan orang, sementara anggaran pemerintah sangat terbatas.
Editor : Redaktur Buliran