Scroll untuk baca artikel

Indonesia Merdeka 80 Tahun: Industri Farmasi Mandek dan Ketergantungan Impor Mengkhawatirkan

Ilustrasi berbagai jenis obat.
Ilustrasi berbagai jenis obat.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Zullies Ikawati, memberikan gambaran cukup gamblang mengenai kondisi industri farmasi di Indonesia. Menurutnya, meskipun industri farmasi lokal mampu memproduksi sekitar 75-80 persen obat untuk pasar domestik, namun bahan baku aktif obat (Active Pharmaceutical Ingredients/API) sebagian besar masih bergantung pada impor.

"Bahan baku aktif obat yang digunakan untuk memproduksi obat di Indonesia masih sekitar 90 persen berasal dari impor, terutama dari China dan India. Jadi, meskipun industri farmasi kita mampu memproduksi sebagian besar obat jadi, ketergantungannya terhadap bahan baku impor masih sangat tinggi," ungkap Prof. Zullies.

Ketergantungan terhadap bahan baku impor bukan hanya menimbulkan masalah pasokan, tetapi juga berdampak langsung pada harga obat di Tanah Air. Fluktuasi harga internasional dan gangguan dalam rantai pasok global sering kali menyebabkan harga obat di dalam negeri melonjak, yang pada gilirannya menambah beban sistem kesehatan nasional.

"Ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor mengakibatkan rentan terhadap fluktuasi harga internasional, gangguan rantai pasok global, dan keterlambatan distribusi. Biaya produksi yang meningkat menyebabkan beberapa obat menjadi lebih mahal. Tekanan harga ini juga mengganggu sistem JKN dan pembiayaan rumah sakit, terutama ketika harga pembelian melebihi batas penggantian biaya," tambah Prof. Zullies.

Kondisi ini menyebabkan ketimpangan dalam akses obat, terutama obat-obatan yang vital dan penting bagi masyarakat. Ketika harga obat naik, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan rumah sakit kesulitan untuk menutupi biaya tersebut, sehingga menyebabkan keterbatasan dalam pelayanan kesehatan.

Editor : Redaktur Buliran
Bagikan

Berita Terkait
Terkini