“Obat juga dijamin (JKN) tapi dianggap pasien tidak tahu maka disuruh beli sendiri, mau enggak mau akhirnya keluar uang lagi,” papar Anggota BPJS Watch Timboel Siregar.
“Perlu memperbaiki sistem perencanaan kebutuhan obat, pelatihan staf pengadaan, akses e-katalog, serta mempercepat proses pembayaran dan verifikasi klaim untuk menghindari kekosongan stok dan pembelian di atas harga batas reimbursement. Koordinasi perlu diperkuat antara Kemenkes, BPJS Kesehatan, LKPP, dan institusi pengawasan seperti BPOM untuk menyelaraskan formularium nasional dan e catalogue,” ujarnya.
Mengarahkan Industri Farmasi ke Pasar Global
Selain fokus pada ketahanan pangan nasional, Prof. Zullies juga menekankan pentingnya orientasi industri farmasi Indonesia pada pasar global. Dalam jangka menengah hingga panjang (2025-2035), Indonesia harus meningkatkan kapasitas produksi bahan baku dan mengarahkan industri farmasi untuk menjadi pemain global.
"Saat ini, industri farmasi Indonesia adalah yang terbesar di ASEAN, dan kita harus mendorong ekspor ke negara-negara tetangga. Dengan proyeksi pertumbuhan ekspor sekitar 7–8 persen per tahun hingga 2028–2029. Dalam jangka menengah (2025–2035) kita perlu memperkuat daya saing internasional agar Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga dapat bersaing di pasar global," paparnya."Setelah 80 tahun merdeka, ironisnya Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan kemandirian di sektor farmasi. Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor menjadi penghalang utama yang menghambat kemajuan industri farmasi domestik," pungkasnya. ***
Editor : Redaktur Buliran